13 March, 2008

Pastikan Anda Tidak Terjebak Mimpi

Andaikata seseorang yang sedang bermimpi tidak pernah terbangun dari tidurnya, maka semua peristiwa yang dialami dan atau disaksikan dalam mimpi tersebut akan dianggap sebagai kehidupan yang sesungguhnya. Kata mimpi berikut segala romantikanya, hanya ada dalam kamus orang-orang yang terbangun dari tidurnya, karena setiap orang yang sedang bermimpi tidak pernah tahu bahwa dirinya sedang bermimpi, sampai kemudian dia terbangun dari tidurnya. Dalam mimpi, seseorang bisa merasakan kesedihan maupun kesenangan, seseorang bisa lari terbirit-birit sambil berteriak minta tolong karena dikejar-kejar anjing misalnya, atau seseorang bisa tertawa terbahak-bahak menyaksikan sejumlah lelucon yang menggelikan. Akan tetapi perhatikanlah bahwa kehidupan mimpi yang penuh kepalsuan semacam itu hanya bisa diakhiri dengan membangunkan para pemimpi.

Kehidupan saat bermimpi dan kehidupan saat terbangun dari mimpi ibarat kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Jika saja Allah tidak menginformasikan terlebih dahulu bahwa ada perkampungan abadi yang bernama akhirat, semua orang akan menyangka bahwa kehidupan dunia adalah kehidupan satu-satunya, sebagaimana anggapan seseorang yang sedang bermimpi terhadap realitas kehidupan yang dialami dalam tidurnya.
Realitas kehidupan dunia yang asli, tidak akan pernah diyakini keberadaannya oleh para pemimpi yang masih terlelap tidur. Bandingkan keadaan tertidur seorang pemimpi dengan keadaan tanpa iman seorang manusia, yang dalam keadaan terakhir ini tidak akan pernah ada pengakuan terhadap eksistensi kehidupan akhirat.

Tidak sedikit manusia yang, baltu’tsiruunal hayaataddunya (memilih kehidupan dunia, meskipun faktanya wal-aakhiratu khairu wa-abqo (akhirat jauh lebih baik dan kekal) [QS. 87:17].
Andaikan dunia adalah sebongkah emas tetapi bersifat sementara, dan akhirat adalah sebongkah tanah liat tetapi kekal, maka pilihan sudah sepantasnya ditujukan kepada akhirat, lebih-lebih kenyataan sesungguhnya akhirat adalah sebongkah emas yang kekal, sementara dunia adalah onggokan tanah liat yang sementara. Akhirat jauh lebih baik daripada dunia, wal-aakhiratu khairullaka minal-uula (QS. 93:4). Dunia bersifat sementara, addunya faaniyah, sedang akhirat bersifat kekal, wal-aakhiratu baaqiyah. Atas dasar ini, perlukah kita lari saja dari kehidupan dunia ?

Tidak ! Dunia harus kita manfaatkan untuk membangun akhirat. Apalagi dunia adalah satu-satunya lahan tempat menyemaikan benih, sebelum akhirnya memasuki masa panen di akhirat. Dunia jangan dimanfaatkan untuk membangun dunia, sebab kalau bukan kita yang duluan meninggalkannya, dunia yang akan mendahului meninggalkan kita. Daripada membangun sesuatu yang pada akhirnya lenyap (fana), lebih baik membangun sesuatu yang bersifat kekal. Untuk itu, fatazawwadu inna khairazzaadi taqwa, berbekallah kamu sekalian, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa. [QS. 2:197].
Permohonan kita terhadap kebaikan di dunia (fiddunya hasanah) maupun kebaikan di akhirat (fil-akhirati hasanah) dalam do’a sapu jagad, kita lakukan dalam konteks agar dunia tidak kita tempatkan secara salah dalam perjalanan menuju akhirat. Jika seorang petani menginginkan rumput-rumput hijau secukupnya di samping padi, maka cukup benih padi yang ditanam, karena dengan mudah rerumputan bisa tumbuh di sela-sela padi. Akan tetapi jika rumput yang di tanam, belum tentu padi bisa tumbuh dengan sendirinya di sela-sela rumput. Artinya, berorientasi kepada akhirat atau nilai-nilai ukhrawi, yakinlah bahwa dunia akan ikut tergarap dengan baik dan benar. Sebaliknya, berorientasi kepada dunia, dapat menjebak para pecintanya dalam perangkap-perangkap tipuan yang pada akhirnya melenyapkan semua harapan kebahagiaan hakiki bersamaan dengan lenyapnya dunia karena sifat kefanaannya.

Kebaikan di dunia (fiddunya hasanah) dengan demikian menyangkut keahlian atau kemampuan memilih jenis benih yang tepat untuk di tanam dan sekaligus di rawat. karena berbagai macam kuman, hama atau benalu dapat saja menggagalkan masa panen.
Jangan mengharapkan masa panen sebelum waktunya. Jangan berburuk sangka kepada Allah jika benih kebaikan yang disebarkan di dunia tidak segera di balas di dunia, karena dunia memang bukan masa panen. Kalau toh di dunia di beri imbalannya, itu sekedar uang muka, sebelum akhirnya dibayar cash dengan segala bonusnya di akhirat. Pembangkangan-pembangkangan terhadap aturan Allah juga bukan di dunia masa pembalasannya. Kalaulah di beri balasan, itu pun sekadar paket cicilan, sisanya sudah dipersiapkan dengan matang dalam arena pembalasan segala perbuatan di akhirat. Wallahua’lam.
(La Ode Ahmad)

08 March, 2008

Bobot Spiritual Makanan

Dalam surat Abasa ayat 24, Allah SWT berfirman, falyandzuril insaanu ilaa tho’amih (maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya). Saat ini kita hidup di zaman ketika makanan telah memasuki wilayah ’global lifestyle’. Kita mengenal istilah 3F (food, fashion, fun) atau makanan, pakaian, hiburan. Makanan terbaik seorang bayi misalnya, teristimewa yang berusia 0-6 bulan, yakni ASI saja, sampai saat ini masih kalah populer dengan iklan (sekaligus penggunaan) susu formula. Padahal, keunggulan ASI yang tidak akan pernah tertandingi oleh makanan atau susu manapun itu, memiliki legalitas teologis yang sangat jelas, antara lain dalam Surat Al-Baqarah ayat 233.

Dalam buaian iklan, makanan dicitrakan sebagai simbol gaya hidup, dan bahkan simbol kemapanan sosial. Ironisnya, supremasi pertimbangan status halal sebuah produk makanan, dipersepsi sementara orang sebagai belenggu kebebasan untuk memanjakan lidah dan perut. Padahal, Syeh Abu Ishaq Ibrahim al-Matbuly dalam salah satu kumpulan wasiatnya mengingatkan bahwa secara umum, kemaksiatan yang dilakukan manusia pada dasarnya disebabkan makanan yang masuk dalam perutnya. Barangsiapa makan makanan yang tidak halal kemudian berniat melakukan ketaatan, maka itu sama artinya dengan mengharapkan sesuatu yang mustahil.

Imam Sahal mengingatkan, orang yang mengonsumsi makanan haram tidak akan terbuka hatinya. Shalat, puasa dan sedekahnya tidak diterima Allah. Imam Abu Hanifah berkata, meski seseorang beribadah kepada Allah terus menerus, tetapi jika tidak peduli makanan apa yang masuk dalam perutnya, maka semua ibadahnya sia-sia.

Sayyid Abdul Wahab Asy-Sya’rani dalam kitab Al-Minah as-Saniyah mengutip pengalaman Sufyan. ”Ketika saya makan makanan halal, kemudian membaca Al-Qur’an, terbuka bagiku 70 macam ilmu. Sebaliknya, ketika ikut makan dengan orang yang tidak meneliti makanannya, tidak satupun ilmu yang terbuka”, kata Sufyan.

Ali Al-Khawas, juga seperti ditulis Asy-Sya’rani, mengatakan, seseorang yang makan makanan halal, hatinya menjadi bersinar, sedikit tidurnya, dan tidak terhalang hatinya tercelup dalam kasih sayang Tuhan. Sebaliknya, orang yang makan makanan haram, anggota badannya cenderung mudah melakukan maksiat.

Pantaslah, diceritakan dalam salah satu hadits, bahwa suatu ketika Sa’ad mendatangi Rasulullah Saw, kemudian meminta, ”Ya Rasulullah, mohonkan kepada Allah agar do’aku diperkenankan oleh-Nya”. Rasulullah menjawab, ”athib tho’mataka tustajab da’watuka, perbaiki makananmu, maka do’amu dikabulkan”

Bobot spiritual makanan, tersimpan dalam hikmah-hikmah halal dan thoyyib-nya sebuah produk makanan, dan bukan pada aspek ’gaya hidup’ yang diusung iklan. Perkara halal, kita tahu, mencakup dimensi ’zat’ dan sekaligus ’cara’ memperoleh makanan itu sendiri. Makanan yang dari segi zatnya halal, tetapi diperoleh dengan cara yang batil, seperti melalui riba, suap, korupsi dan lain-lain, tetaplah haram. Ujung-ujungnya, Rasulullah Saw mengingatkan kita dalam salah satu haditsnya, bahwa setiap daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram, nerakalah yang pantas untuknya. Wallahu a’lam. (La Ode Ahmad)