28 April, 2008

Benarkah Ini Cinta...


Oleh: Hidayatul Karomah

“Cinta itu anugerah maka berbahagialah, sebab kita sengsara bila tak punya cinta”, demikian nukilan syair sebuah lagu.Benar! Cinta itu adalah anugerah, dan benar pula kita akan sengsara bila tak punya cinta.Namun bisa semudah itukah kita menilai, benarkah ini cinta yang dimaksud?

Makna Cinta
Cinta. Berbicara cinta takkan ada habisnya. Memaknai cinta itu sendiri jelas tergantung pada isi kepala masing-masing. Perasaan yang mampu memberikan energi luar biasa, mampu memberikan kebahagiaan dan membuat seseorang rela berkorban tanpa mengharap sebuah balasan. Inikah makna cinta? Dan timbul kembali pertanyaan benarkah ini cinta yang sesungguhnya ketika seseorang merasa telah jatuh cinta dan kemudian melakukan apa saja demi mendapatkan cinta, benarkah ini anugerah ketika seorang merasa jatuh cinta lagi pada seseorang ketika biduk rumah tangga telah berjalan?

Cinta atau NAFSU
Sesungguhnya itulah yang harus ditelaah dengan sebening- beningnya hati. Hanya dengan kejernihan pikiran dan hati nuranilah yang mampu memberikan jawaban. Itulah kunci jawabannya. Namun seberapa mampu kita mengedepankan hati nurani, ketika hati sudah penuh sesak dengan dorongan-dorongan syetan yang sungguh lihai mengatasnamakan cinta sebagai pembenaran.Melalui celah nafsu, syetan mampu membungkus sesuatu yang salah seakan-akan benar adanya. Syetan mampu membakar nafsu dengan iming-iming kenikmatan tiada tara.Syetan tak pernah surut menghembuskan godaan-godaan ditengah kadar keimanan yang sangat rentan pasang surutnya.Semoga iman bisa menjadi pagar, sehingga bisa merasakan kenikmatan cinta yang hakiki.

24 April, 2008

Fenomena Rasa

Oleh: Hidayatul Karomah

Artikel ini adalah murni kontribusi dari istri saya yang juga ingin berbagi cara pandang dengan para pengunjung. (La Ode Ahmad)

Ada empat huruf luar biasa yaitu R,A,S,A. Rasa adalah sebuah keajaiban yang Allah ciptakan sebagai salah bukti kekuasaan dan keagungan-Nya. Betapa tidak? Adakalanya manusia merasakan binar-binar kebahagiaan, duniapun terasa sangat lapang dan terang benderang.

Namun suatu ketika hati merasa sedih, maka duniapun terasa sempit, gelap dan bahkan tidak jarang yang ada hanya air mata, menangis dan menangis.
Adakala pula seseorang merasakan kecemasan. Gelisah dan gelisah. Duduk tidak tenang, berdiripun tak bisa diam, tidur tak nyenyak makanpun tidak enak.

Mungkin rasa bahagia, sedih dan cemas semua orang pernah mengalaminya, tak mengenal usia, jenis kelamin, maupun status sosial. Namun ada satu rasa yang belum tentu bisa didapatkan oleh setiap orang yaitu rasa damai. Ketika seseorang memperoleh perasaan damai ibarat air laut dimusim teduh, atau senyaman sentuhan angin di pagi hari yang berhembus dari sela-sela daun padi yang mulai menguning bak menyampaikan kabar baik bahwa padi siap dipanen. Atau juga kedamaian seorang bayi yang terlelap tenang dalam dekapan hangat Sang Bunda.

Itulah kehidupan. Allah menciptakan manusia dengan kesempurnaan akal dan hati yang mampu melahirkan rasa.Dengan berbekal kesempurnaan akal pikiran serta perasaan dalam hati sudah seharusnya manusia berbeda dengan makhluk ciptaan-Nya yang lain. Semoga dapat menjadikan renungan, karena hidup adalah sebuah pilihan. Jalan terbentang di depan, roda kehidupan akan terus berputar menurut titah Sang Pemilik Kehidupan. Jalan yang kita pilih semua ada konsekuensinya. Semoga iman mampu senantiasa menuntun akal dan rasa kepada pilihan yang terbaik meraih kedamaian abadi ditengah guncangan kefanaan yang tak pernah mau berhenti. Amien.

21 April, 2008

Tragedi Integritas Nilai Kesehatan

Dalam salah satu hadits yang berkaitan dengan kesehatan, Rasululullah Saw bersabda: was-alu Allah al-yaqiina wa al-mu’aafah, fa-innahu lamyu’ta ahadun ba’da al-yaqiina khairan min al-mu’aafah (mintalah kepada Allah keyakinan yang benar dan kesehatan, karena sesungguhnya tidak ada pemberian setelah keyakinan yang benar yang lebih berharga daripada kesehatan.

Dalam hadits tersebut, posisi kesehatan hampir-hampir disejajarkan dengan kedudukan keyakinan yang benar. Bahkan jika makna kesehatan diperluas hingga ke tataran realitas jiwa atau qalbu, maka antara keyakinan yang benar dengan kesehtan seolah-olah menyatu dalam aspek pengertian, bahwa keyakinan yang benar itulah dia kesehatan jiwa yang sejati.

Penyertaan penyebutan keyakinan yang benar dengan kesehatan dalam matan hadits di atas tampaknya ingin memberi penegasan (atau semacam afirmasi) keharusan membangun kesehatan secara holistik, menyeluruh, tidak sepotong-sepotong, atau tidak secuil-secuil di sana-sini. Dan ini sesungguhnya adalah sebuah afirmasi imperatif yang akan mendorong manifestasi men sano (sehat jiwa) sekaligus corpori sano (sehat tubuh). Dan inilah tonggak nilai integritas kesehatan yang fundamental.

Wajah Kesehatan Saat Ini
Saat ini sebenarnya kita sedang menghadapi wajah kesehatan yang sangat menakutkan. Nilai integritas kesehatan tidak hanya terpisah, tetapi sekaligus juga terpecah. Bisa disaksikan sendiri, upaya kesehatan badan berkembang sangat pesat dengan tingkat kecepatan yang “berlari kencang”, sementara di sisi lain sayup-sayup terdengar upaya kesehatan jiwa yang “berjalan” terseok-seok.

Tidak berlebihan memang jika kemudian Rollo May menyimpulkan abad ini sebagai abad kecemasan (the age of anxiety). Abad kecemasan artinya adalah abad penyakit jiwa. Lewis Mumford, penulis buku Condition of Man, Technics and Civilization, mengatakan bahwa saat ini setiap manusia menjalani hidupnya dalam bimbingan kekerasan (today every human being is living through an apocalypse of violence).

Penyakit jiwa sungguh merupakan hantu kesehatan yang paling menakutkan. Dan ini sedang banyak bergentayangan. Kekerasan bahkan tidak jarang dilakukan dengan penuh kelembutan.
Apa sesungguhnya yang sedang terjadi selama ini? Jawabnya tersimpul dalam salah satu bait puisi TS. Eliot, seorang sastrawan modern, bahwa: the cycle of heaven in twenty centuries; brings us farther from God and nearer to dust (perputaran alam semesta dalam dua puluh abad; membawa kita terjauh dari Tuhan dan semakin dekat kepada debu kehancuran). Semua ilmu pengetahuan kita, masih kata Eliot, membawa kita semakin dekat kepada kebodohan (all our knowledge brings us nearer to ignorance).

Ilmu kedokteran modern memandang manusia seperti mesin, yang dalam istilah Fritjof Capra, manusia sebagai mesin biomedis. Penyakit dipersepsi sebagai kegagalan fungsi (malfungsi) mekanisme biologis pada tataran seluler dan atau molekuler. Dengan pandangan semacam ini, upaya kesehatan yang diterapkan sering kali sangat fisikal sekaligus parsial. Terampil menggunakan stetoskop untuk mendengarkan suara jantung atau paru misalnya, tetapi seringkali gagal menangkap “suara hati” pasien. Padahal, meminjam kata-kata Henry Mandsley (psikiater), bahwa the sorrow which has no vent in tears, may make other organs weep (nestapa yang tak tersalurkan lewat air mata, bisa membuat organ-organ tubuh lain menangis).Makna terpenting dari ungkapan Mandsley di atas sebenarnya adalah merujuk pada nilai integritas kesehatan agar penanganan penyakit secara fisik tidak pernah (atau jangan sampai) tercerabut dari akar-akar sentuhan esensi jiwa insaniah. Kalau tidak, bukan hanya entitas kesehatan yang akan terus menampilkan potret buram, akan tetapi yang paling mengkhawatirkan dari sisi hasil pengorbanan yang telah dilakukan pihak provider adalah peringatan berikut ini: “Katakanlah (Muhammad):’Apakah perlu kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi aktivitasnya’. Yaitu orang yang sia-sia pekerjaannya dalam kehidupan dunia, sedang mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya” (QS. Al-Kahfi: 103-104). Wallahu a’lam.
(La Ode Ahmad).