28 February, 2008

Memancing Rezeqi

Suatu hari, anak saya yang berusia 7 tahun menyodorkan sebuah bungkusan yang terbuat dari kertas bekas. Mirip sebuah amplop. “Ayah, ini tempat tabungan saya” katanya singkat.
“Banyak dong isinya” sahut saya.
“Ya, lumayan…” jawab anak saya sambil mendekati adiknya yang sedang bermain.

Tak lama setelah itu, di depan rumah lewat seorang peminta-minta. Di depan pintu rumah kami, pengemis itu berhenti sejenak. “Jariahnya Pak, jariahnya Pak” ucapnya sambil mengulurkan tangan. Kebetulan saja saat itu saya sedang tidak memegang uang, bahkan receh sekalipun.

Anak sulung saya yang waktu itu ada di dalam rumah saya panggil. “Qorin”, demikian panggilan singkat anak pertama saya yang bernama lengkap Qorin Haq. “Tolong sayang jariahnya”.
Beberapa saat berlalu, anak saya belum juga keluar.

“Cepat sayang, udah ditunggu nih” panggil saya sekali lagi.
Akhirnya, alhamdulillah sang pengemis itupun segera menerima uang jariah.
Saya lalu masuk ke dalam rumah. Menghampiri anak saya, dan bertanya: “Kok, ngambil uangnya tadi agak lama sayang?”

“Habis Qorin nyari-nyari uangnya tidak dapat. Akhirnya Qorin buka aja tabungannya. Trus ngambil duit tabungan seribu”.

“Lantas …”
“Yaa..jadi berkurang deh tabungan Qorin”

“Oh, tidak sayang, seribu rupiah yang Qorin keluarkan dari tabungannya untuk peminta-minta tadi, sebenarnya adalah tabungan yang sesungguhnya. Jadi tidak berkurang sayang. Malah bertambah kan?”

Saya tidak faham persis bagaimana penerimaan anak saya terhadap keterangan yang saya sampaikan tersebut. Tapi saya lihat saat itu, dia senyum terangguk-angguk, seperti orang yang mengerti betul apa yang barusan saya katakan.

“Kalau kita memberikan sedekah dengan ikhlas, Allah akan memberikan balasan kebaikan yang berlipat ganda. Rasulullah Saw pernah bersabda yang artinya: Pancinglah rezeki dengan sedekah” demikian saya menambahkan.

Belum juga berganti hari, sore ba’da ashar waktu itu, anak saya ditengok oleh kakeknya. Menjelang pamit pulang, sang kakek menyelipkan selembar uang di saku anak saya. “Simpan ya buat tabungannya” kata kakek sambil membelai cucunya.
Sang kakek pamit, iseng-iseng saya nanya anak saya: “Wah, barusan kakek ngasih duit ya..?”

“Iya...Lima puluh ribu rupiah” jawab anak saya senang.
“Nah…tuh kan?! Kata saya.

Ikan besar lebih sering dipancing dengan umpan ikan kecil.
Gimana kalau umpannya ikan besar?
Ikan yang bakal di dapat so pasti lebih besar lagi dong! .
Wallahu A’lam. (La Ode Ahmad)

22 February, 2008

Ayat-Ayat Kematian

Sejarah perjalanan hidup anak manusia tidak pernah sepi dari catatan seputar orang-orang yang mengharapkan (bahkan memilih) kematian untuk membebaskan diri dari sejumlah beban penderitaan hidup yang dihadapi. Saat ketika sejumlah ahli kesehatan jiwa mengumumkan abad ke-20 sebagai abad kecemasan (age of anxiety), sejarah memang seperti tak henti-hentinya mencatat kematian demi kematian yang sengaja dipilih oleh sejumlah anak manusia, baik untuk kematian diri sendiri maupun kematian bagi orang lain. Pelakunya seperti tidak lagi mengenal usia, tua maupun muda, dewasa bahkan anak-anak, mereka semua telah terekam dalam catatan sejarah kelam cara memilih kematian. Atas nama kepercayaan tertentu, sejarahpun tidak luput mencatat aksi bunuh diri massal yang konon diyakini para pelakunya dan penganutnya sebagai parade kematian menuju kedamaian. Na’uzubillahiminzalik.

Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fii Zhilalil Qur’an menulis, kematian bukan akhir dari kehidupan. Kematian adalah bagian dari fase kehidupan itu sendiri yang akan dilalui oleh setiap orang, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, yakin ataupun tidak yakin. Kematian adalah pintu masuk ke dalam kehidupan berikutnya. Kehidupan sesungguhnya. Andaikan tak ada kehidupan setelah kematian, maka kematian benar-benar akan menjadi satu-satunya cara untuk mengakhiri semua beban hidup yang dialami. Kenyataannya, setelah kematian manusia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap semua yang dilakukan di dunia. Setelah kematian, para pecundang hidup yang sering dimenangkan oleh pengadilan dunia akan terlibas dengan sendirinya dalam kehinaan di bawah pengadilan Tuhan.

Beberapa saat sebelum meninggal dunia, Al-Ghazali merangkai kalimat-kalimat yang sarat dengan hikmah tentang kematian di atas selembar kertas. Diletakkannya sehelai kertas itu di sampingnya sampai akhirnya beliau meninggal. Inilah goresan di atas secarik kertas itu:

Katakanlah kepada sahabatku yang melihatku telah wafat
Mereka meratapi kebaikanku dan menangisiku karena sedih
Apakah kalian mengira bahwa aku adalah mayat di antara kalian?
Demi Allah, sebenarnya aku ini bukanlah mayat.
Aku berada dalam barzakh, dan jasadku ini...
Dahulu merupakan rumah dan pakaianku untuk beberapa masa
Aku burung pipit dan ini adalah sangkarku
Aku terbang meninggalkannya dan tinggallah ia tergadai
Aku mutiara yang tertutup oleh kulitnya
Untuk mengujiku maka aku tinggalkan cobaan itu
Aku memuji kepada Allah telah membebaskan aku
Dan membangun untukku tempat tinngal di surga.
Dahulu sebelum ini aku adalah mayat di antara kalian
Maka sekarang aku hidup dan aku buka kafan itu
Sekarang aku berdialog dengan alam arwah
Dan aku memandang Allah dengan jelas dan terang
Aku telah pergi dan meninggalkan kalian
Aku tidak rela tempat kalian menjadi negeriku
Janganlah kalian sangka bahwa maut itu kematian
Sesungguhnya ia adalah kehidupan, dan tujuan akhir
Janganlah kalian gentar menghadapi maut
Ia tidak lain hanyalah perpindahan dari sini.

Wallahu A’lam