21 April, 2008

Tragedi Integritas Nilai Kesehatan

Dalam salah satu hadits yang berkaitan dengan kesehatan, Rasululullah Saw bersabda: was-alu Allah al-yaqiina wa al-mu’aafah, fa-innahu lamyu’ta ahadun ba’da al-yaqiina khairan min al-mu’aafah (mintalah kepada Allah keyakinan yang benar dan kesehatan, karena sesungguhnya tidak ada pemberian setelah keyakinan yang benar yang lebih berharga daripada kesehatan.

Dalam hadits tersebut, posisi kesehatan hampir-hampir disejajarkan dengan kedudukan keyakinan yang benar. Bahkan jika makna kesehatan diperluas hingga ke tataran realitas jiwa atau qalbu, maka antara keyakinan yang benar dengan kesehtan seolah-olah menyatu dalam aspek pengertian, bahwa keyakinan yang benar itulah dia kesehatan jiwa yang sejati.

Penyertaan penyebutan keyakinan yang benar dengan kesehatan dalam matan hadits di atas tampaknya ingin memberi penegasan (atau semacam afirmasi) keharusan membangun kesehatan secara holistik, menyeluruh, tidak sepotong-sepotong, atau tidak secuil-secuil di sana-sini. Dan ini sesungguhnya adalah sebuah afirmasi imperatif yang akan mendorong manifestasi men sano (sehat jiwa) sekaligus corpori sano (sehat tubuh). Dan inilah tonggak nilai integritas kesehatan yang fundamental.

Wajah Kesehatan Saat Ini
Saat ini sebenarnya kita sedang menghadapi wajah kesehatan yang sangat menakutkan. Nilai integritas kesehatan tidak hanya terpisah, tetapi sekaligus juga terpecah. Bisa disaksikan sendiri, upaya kesehatan badan berkembang sangat pesat dengan tingkat kecepatan yang “berlari kencang”, sementara di sisi lain sayup-sayup terdengar upaya kesehatan jiwa yang “berjalan” terseok-seok.

Tidak berlebihan memang jika kemudian Rollo May menyimpulkan abad ini sebagai abad kecemasan (the age of anxiety). Abad kecemasan artinya adalah abad penyakit jiwa. Lewis Mumford, penulis buku Condition of Man, Technics and Civilization, mengatakan bahwa saat ini setiap manusia menjalani hidupnya dalam bimbingan kekerasan (today every human being is living through an apocalypse of violence).

Penyakit jiwa sungguh merupakan hantu kesehatan yang paling menakutkan. Dan ini sedang banyak bergentayangan. Kekerasan bahkan tidak jarang dilakukan dengan penuh kelembutan.
Apa sesungguhnya yang sedang terjadi selama ini? Jawabnya tersimpul dalam salah satu bait puisi TS. Eliot, seorang sastrawan modern, bahwa: the cycle of heaven in twenty centuries; brings us farther from God and nearer to dust (perputaran alam semesta dalam dua puluh abad; membawa kita terjauh dari Tuhan dan semakin dekat kepada debu kehancuran). Semua ilmu pengetahuan kita, masih kata Eliot, membawa kita semakin dekat kepada kebodohan (all our knowledge brings us nearer to ignorance).

Ilmu kedokteran modern memandang manusia seperti mesin, yang dalam istilah Fritjof Capra, manusia sebagai mesin biomedis. Penyakit dipersepsi sebagai kegagalan fungsi (malfungsi) mekanisme biologis pada tataran seluler dan atau molekuler. Dengan pandangan semacam ini, upaya kesehatan yang diterapkan sering kali sangat fisikal sekaligus parsial. Terampil menggunakan stetoskop untuk mendengarkan suara jantung atau paru misalnya, tetapi seringkali gagal menangkap “suara hati” pasien. Padahal, meminjam kata-kata Henry Mandsley (psikiater), bahwa the sorrow which has no vent in tears, may make other organs weep (nestapa yang tak tersalurkan lewat air mata, bisa membuat organ-organ tubuh lain menangis).Makna terpenting dari ungkapan Mandsley di atas sebenarnya adalah merujuk pada nilai integritas kesehatan agar penanganan penyakit secara fisik tidak pernah (atau jangan sampai) tercerabut dari akar-akar sentuhan esensi jiwa insaniah. Kalau tidak, bukan hanya entitas kesehatan yang akan terus menampilkan potret buram, akan tetapi yang paling mengkhawatirkan dari sisi hasil pengorbanan yang telah dilakukan pihak provider adalah peringatan berikut ini: “Katakanlah (Muhammad):’Apakah perlu kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi aktivitasnya’. Yaitu orang yang sia-sia pekerjaannya dalam kehidupan dunia, sedang mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya” (QS. Al-Kahfi: 103-104). Wallahu a’lam.
(La Ode Ahmad).

No comments:

Post a Comment